Mahkamah Konstitusi (disingkat MK) adalah lembaga
tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia
yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama
dengan Mahkamah Agung.
Daftar
isi
- 1 Sejarah
- 1.1 Latar belakang
- 1.2 Masa Penyusunan UUD 1945
- 1.3 Masa Reformasi 1998
- 1.4 Masa pembentukan dasar hukum
- 1.5 Masa penetapan Hakim Konstitusi
- 1.6 Masa pemantapan kelembagaan
- 1.7 Masa pemenuhan sarana dan prasarana
- 2 Kewajiban dan wewenang mahkamah konstitusi
- 3 Ketua
- 4 Hakim Konstitusi
- 5 Daftar Hakim Konstitusi
- 6 Daftar Ketua Mahkamah Konstitusi
- 7 Daftar Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi
- 8 Susunan Organisasi
- 9 Persidangan
- 10 Anggaran
- 11 Referensi
Sejarah
Latar
belakang
Lembaran awal sejarah praktik
pengujian Undang-undang (judicial review) bermula di Mahkamah Agung (MA) (Supreme Court)
Amerika
Serikat saat dipimpin John Marshall dalam kasus Marbury lawan Madison tahun
1803. Kendati saat
itu Konstitusi Amerika Serikat tidak mengatur pemberian kewenangan untuk
melakukan judicial review kepada MA, tetapi dengan menafsirkan sumpah
jabatan yang mengharuskan untuk senantiasa menegakkan konstitusi, John
Marshall menganggap MA berwenang untuk menyatakan suatu Undang-undang
bertentangan dengan konstitusi.
Adapun secara teoritis, keberadaan
Mahkamah Konstitusi baru diintrodusir pertama kali pada tahun 1919 oleh pakar hukum
asal Austria, Hans Kelsen (1881-1973). Hans Kelsel menyatakan bahwa
pelaksanaan konstitusional tentang legislasi dapat secara efektif dijamin hanya
jika suatu organ selain badan legislatif diberikan tugas untuk menguji apakah
suatu produk hukum itu konstitusional atau tidak, dan tidak memberlakukannya
jika menurut organ ini tidak konstitusional. Untuk itu perlu diadakan organ
khusus yang disebut Mahkamah Konstitusi (constitutional court).
Masa
Penyusunan UUD 1945
Bila ditelusuri dalam sejarah
penyusunan UUD 1945,
ide Hans Kelsen mengenai pengujian
Undang-undang
juga sebangun dengan usulan yang pernah diungkapkan oleh Muhammad
Yamin dalam sidang Badan Penyelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Yamin
mengusulkan bahwa seharusnya Balai Agung (atau Mahkamah Agung) diberi wewenang untuk
"membanding Undang-undang" yang maksudnya tidak lain adalah
kewenangan judicial review. Namun usulan Yamin
ini disanggah oleh Soepomo dengan alasan bahwa; pertama, konsep dasar yang
dianut dalam UUD yang telah disusun bukan konsep pemisah kekuasaan (separation
of power) melainkan konsep pembagian kekuasaan (distribution of power);
kedua, tugas hakim
adalah menerapkan Undang-undang bukan menguji Undang-undang; dan ketiga,
kewenangan hakim untuk melakukan pengujian Undang-undang bertentangan dengan
konsep supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR),
sehingga ide akan pengujian Undang-undang terhadap UUD yang
diusulkan Yamin tersebut tidak diadopsi dalam UUD 1945.
Masa
Reformasi 1998
Seiring dengan momentum perubahan UUD 1945
pada masa reformasi (1999-2004), ide pembentukan
Mahkamah Konstitusi (MK) di Indonesia makin menguat. Puncaknya terjadi pada tahun 2001 ketika ide
pembentukan MK diadopsi dalam perubahan UUD 1945
yang dilakukan oleh MPR, sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat
(2) dan Pasal 24C UUD 1945 dalam Perubahan Ketiga.
Masa
pembentukan dasar hukum
Selanjutnya untuk merinci dan
menindaklanjuti amanat Konstitusi tersebut, Pemerintah bersama DPR membahas Rancangan Undang-Undang tentang Mahkamah
Konstitusi. Setelah dilakukan pembahasan beberapa waktu lamanya, akhirnya RUU tersebut
disepakati bersama oleh pemerintah bersama DPR dan disahkan dalam Sidang Paripurna DPR
pada 13
Agustus 2003.
Pada hari itu juga, UU tentang MK ini ditandatangani oleh Presiden Megawati Soekarnoputri dan dimuat dalam Lembaran
Negara pada hari yang sama, kemudian diberi nomor UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4316). Ditilik dari aspek waktu, Indonesia merupakan negara
ke-78 yang membentuk MK dan sekaligus sebagai negara pertama di dunia yang
membentuk lembaga ini pada abad ke-21. Tanggal 13 Agustus
2003 inilah yang
kemudian disepakati para hakim konstitusi menjadi hari lahir MKRI.
Masa
penetapan Hakim Konstitusi
Bertitik tolak dari UU Nomor 24
Tahun 2003, dengan
mengacu pada prinsip keseimbangan antar cabang kekuasaan negara, dilakukan rekrutmen
hakim konstitusi yang dilakukan oleh tiga lembaga negara, yaitu DPR, Presiden dan MA. Setalah melalui tahapan seleksi sesuai
mekanisme yang berlaku pada masing-masing lembaga tersebut, masing-masing
lebaga mengajukan tiga calon hakim konstitusi kepada Presiden untuk
ditetapkan sebagai hakim konstitusi.
DPR mengajukan Prof. DR. Jimly Asshiddiqie,
S.H., Letjen. TNI (Purn.) H. Achmad Roestandi, S.H. dan I Dewa Gede Palguna,
S.H., M.H. Sedangkan Presiden mengajukan Prof. H. Ahmad Syarifuddin Natabaya,
S.H., LL.M., Prof. H. Abdul Mukthie Fadjar, S.H., M.S. dan DR. Harjono, S.H.,
MCL.Sementara MA mengajukan Prof. DR. H. Mohammad Laica
Marzuki, S.H., Soedarsono, S.H. dan Maruarar Siahaan, S.H.
Pada 15 Agustus
2003, pengangkatan
hakim konstitusi untuk pertama kalinya dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia
ditetapkan dengan Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003 yang dilanjutkan
dengan pengucapan sumpah jabatan para hakim konstitusi di Istana
Negara, pada 16 Agustus 2003. Setelah mengucapkan sumpah, para hakim konstitusi langsung
bekerja menunaikan tugas konstitusionalnya sebagaimana tercantum dalam UUD 1945.
Masa
pemantapan kelembagaan
Dalam melaksanakan tugas
konstitusionalnya, para hakim konstitusi membutuhkan dukungan administrasi
aparatur pemerintah, baik yang bersifat administrasi umum maupun administrasi
yustisial. Terkait dengan hal itu, untuk pertama kalinya dukungan administrasi
umum dilaksanakan oleh Sekretaris Jenderal MPR. Oleh sebab itu, dengan
persetujuan Sekretaris Jenderal MPR, sejumlah pegawai memberikan dukungan
terhadap pelaksanaan tugas konstitusional para hakim konstitusi. Sebagai salah
satu wujudnya adalah Kepala Biro Majelis MPR, Janedjri M. Gaffar,
ditetapkan sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Sekretris Jenderal MK sejak tanggal 16 Agustus
2003 hingga 31 Desember
2003. Kemudian pada 2 Januari 2004, Presiden Megawati Soekarnoputri menetapkan Anak Agung Oka
Mahendra, S.H. sebagai Sekretaris Jenderal MK definitif. Dalam
perkembangganya, Oka Mahendra
mengundurkan diri karena sakit, dan pada 19 Agustus
2004 terpilih Janedjri M. Gaffar
sebagai Sekretaris Jenderal MK yang baru menggantikan Oka Mahendra.
Sejalan dengan itu, ditetapkan pula
Kepaniteraan MK yang mengemban tugas membantu kelancaran tugas dan wewenang MK
di bidang administrasi yustisial. Panitera bertanggungjawab dalam menangani
hal-hal seperti pendaftaran permohonan dari para pemohon, pemeriksaan kelengkapan
permohonan, pencatatan permohonan yang sudah lengkap dalam Buku Registrasi
Perkara Konstitusi, hingga mempersiapkan dan membantu pelaksanaan
persidangan MK. Bertindak sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Panitera mendampingi
Plt. Sekjen MK adalah Marcel Buchari, S.H. yang
di kemudian hari secara definitif digantikan oleh Drs. H, Ahmad Fadlil
Sumadi, S.H., M.Hum.
Lintasan perjalan MK selanjutnya
adalah pelimpahan perkara dari MA ke MK, pada 15 Oktober
2003, yang menandai
mulai beroperasinya kegiatan MK sebagai salah satu cabang kekuasaan kehakiman
menurut ketentuan UUD 1945. Mulai
beroperasinya kegiatan MK juga menandari berakhirnya kewenangan MA dalam
melaksanakan kewenangan MK sebagaimana diamanatkan oleh Pasal III Aturan
Peralihan UUD 1945.
Setelah bekerja penuh selama lima
tahun, halim konstitusi periode pertama (2003-2008) telah memutus 205
perkara dari keseluruhan 207 perkara yang masuk. Perkara-perkara tersebut
meliputi 152 perkara Pengujian Undang-undang (PUU), 10 perkara Sengketa
Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) dan 45 perkara Perselisihan Hasil Pemilihan
Umum (PHPU). Periode pertama hakim konstitusi berakhir pada 16 Agustus 2008.
Dalam perjalanan sebelum akhir periode tersebut tiga hakim konstitusi berhenti
karena telah memasuki usia pensiun (berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf c UU
MK, usia pensiun hakim konstitusi adalah 67 tahun), yakni Letjen. TNI (Purn.)
H. Achmad Roestandi, S.H.yang kemudian diganti oleh Prof. DR. Mohammad Mahfud
MD., S.H., Prof. DR. H. Mohammad Laica Marzuki, S.H. yang posisinya diganti
oleh DR. H. Mohammad Alim, S.H., M.Hum. dan Soedarsono, S.H. yang kedudukannya
diganti oleh DR. H. Muhammad Arsyad Sanusi, S.H., M.Hum. Tiga nama yang baru
menggantikan tersebut sekaligus meneruskan jabatannya sebagai hakim konstitusi
untuk periode kedua (2008-2013).
Di periode kedua ini, enam hakim
konstitusi lainnya terpilih Prof. H. Abdul Mukthie Fadjar, S.H., M.S. (untuk
yang kedua kali), Prof. DR. Achmad Sodiki, S.H. dan Prof. DR. Maria Farida
Indrati, S.H. yang diajukan Presiden. Kemudian Prof. DR. Jimly Asshiddiqie,
S.H. (untuk yang kedua kali) dan Muhammad Akil Mochtar, S.H., M.H. yang
diajukan DPR. Sementara MA mengajukan kembali Maruarar Siahaan, S.H. yang
sebelumnya telah menjadi hakim konstitusi periode pertama. Dengan demikian di
periode kedua MK terdapat tiga nama lama dan enam nama baru. Akan tetapi dalam
perkembangannya, Prof. DR. Jimly Asshiddiqie, S.H. mengundurkan diri sebagai
hakim konstitusi yang berlaku efektif mulai tanggal 1 November 2008 dan
digantikan oleh DR. Harjono, S.H., MCL. yang mengucapkan sumpah pada tanggal 24
Mare 2009, sedangkan Prof. H. Abdul Mukthie Fadjar, S.H., M.S. dan Maruarar
Siahaan, S.H. mulai 1 Januari 2010 memasuki usia pensiun dan digantikan oleh
DR. Hamdan Zoelva, S.H., M.H. dan Drs. H. Ahmad Fadlil Sumadi, S.H., M.Hum.
yang mengucapkan sumpah pada tanggal 7 Januari 2010. Formasi sembilan hakim
konstitusi inilah yang sekarang menjalankan tugas-tugas konstitusional Mahkamah
Konstitusi.
Setelah sembilan Hakim Konstitusi
mengucapkan sumpah di Istana Negara pada 16 Agustus 2003, belum ada aparatur
yang ditugaskan memberikan pelayanan dan dukungan terhadap pelaksanaan tugas
para Hakim Konstitusi. Demikian pula belum ada kantor sebagai tempat bekerja
para Hakim Konstitusi. Pada saat itu, alamat surat menyurat menggunakan nomor
telepon seluler Prof. DR. Jimly Asshiddiqie, S.H.
Masa
pemenuhan sarana dan prasarana
Keterbatasan sarana dan kurangnya
dukungan teknis bagi pelaksanaan tugas-tugas Hakim Konstitusi merupakan
persoalan yang menjadi prioritas untuk diselesaikan dengan segera. Setelah
melalui pembahasan di kalangan Hakim Konstitusi, akhirnya diputuskan dua hal.
Gedung Mahkamah Kontitusi pada malam
hari.
Pertama, meminta bantuan tenaga dari
Sekretariat Jenderal MPR untuk memberikan dukungan administrasi umum dan MA
untuk tenaga administrasi justisial. Kedua, menyewa ruangan di Hotel Santika
yang terletak di Jalan KS. Tubun, Slipi, Jakarta Barat, untuk dijadikan kantor
sementara. Tidak lama kemudian, MK berpindah kantor dengan menyewa ruangan di
gedung Plaza Centris di Jalan HR. Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan,
tepatnya di lantai 4 dan lantai 12A. Namun demikian, ruangan yang tersedia bagi
MK di Plaza Centris masih jauh dari memadai. Karena keterbatasan ruang
tersebut, para pegawai MK berkantor di lahan parkir kendaraan yang disulap
menjadi ruang kantor modern. Seiring dengan itu, Ketua MK mengangkat Janedjri
M. Gaffar sebagai Plt. Sekjen pada tanggal 4 September
2003 dan pada 1 Oktober 2003 menangkan Marcel
Buchari, S.H. sebagai Plt. Panitera.
Meskipun sudah memiliki kantor,
keterbatasan saran masih menjadi persoalan bagi MK. Selama berkantor di Hotel
Santika dan Plaza Centris, MK harus meminjam Gedung Nusantara IV (Pusaka Loka)
Kompleks MPR/DPR, salah satu ruang di Mabes Polri dan salah satu ruang di
Kantor RRI sebagai ruang sidang karena belum memiliki ruang sidang yang
representatif. Hal ini tentu saja menjadi hambatan bagi mobilitas kerja para
Hakim Konstitusi sekaligus ironi bagi lembaga negara sekaliber MK yang mengawal
konstitusi sebagai hukum tertinggi di negeri ini. Karena itu, ketika merumuskan
Cerak Biru "Membangun Mahkamah Konstitusi sebagai Institusi Peradilan
Konstitusi yang Modern dan Terpercaya", gagasan pembangunan gedung MK
mendapat penekanan tersendiri.
Setelah menempati gedung di Jalan
Medan Merdeka Barat No. 7 Jakarta Pusat milik Kementerian Negara Komunikasi dan
Informasi (Kominfo) pada tahun 2004, barulah MK bisa menggelar persidangan di
kantor sendiri. Meski demikian, ruangan dan fasilitas yang tersedia di gedung
tersebut masih belum memadai, terutama ketika MK harus menangani perkara yang
menumpuk dan membutuhkan peralatan-peralatan canggih sebagaimana terjadi pada
Pemilu 2004. Ketika melakukan pemeriksaan perkara perselisihan hasil pemilihan
umum Legislatif 2004, ruang persidangan yang ada di gdung MK tidak mencukupi
sehingga MK meminjam ruang di gedung RRI yang terletak tidak jauh dari kantor
MK. Begitu juha ketika haru menggelar persidangan jarak jauh, MK harus meminjam
ruang dan fasilitas teleconference.
Kewajiban
dan wewenang mahkamah konstitusi
Pasal 24 ayat (2) UUD 1945
menyatakan, Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan ketentuan tersebut,
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman selain
Mahkamah Agung. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dengan demikian,
Mahkamah Konstitusi adalah suatu lembaga peradilan, sebagai cabang kekuasaan
yudikatif, yang mengadili perkara-perkara tertentu yang menjadi kewenangannya
berdasarkan ketentuan UUD 1945.
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD
1945 yang ditegaskan kembali dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai dengan d UU
24/2003, kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji undang-undang terhadap
UUD 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh UUD 1945; memutus pembubaran partai politik; dan memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain itu, berdasarkan Pasal 7 ayat
(1) sampai dengan (5) dan Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 yang ditegaskan lagi oleh
Pasal 10 ayat (2) UU 24/2003, kewajiban Mahkamah Konstitusi adalah memberikan
keputusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah
melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan tercela, atau tidak memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
Ketua
Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih
dari dan oleh Hakim Konstitusi untuk masa jabatan 3 tahun. Masa jabatan Ketua
MK selama 3 tahun yang diatur dalam UU 24/2003 ini sedikit aneh, karena masa
jabatan Hakim Konstitusi sendiri adalah 5 tahun, sehingga berarti untuk masa
jabatan kedua Ketua MK dalam satu masa jabatan Hakim Konstitusi berakhir
sebelum waktunya (hanya 2 tahun).
Ketua MK yang pertama adalah Prof.
Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.. Guru besar hukum tata negara Universitas
Indonesia kelahiran 17 April 1956 ini terpilih pada rapat internal antar anggota hakim
Mahkamah Konstitusi tanggal 19 Agustus 2003. Jimly terpilih lagi sebagai ketua untuk masa bakti
2006-2009 pada 18 Agustus 2006 dan disumpah pada 22 Agustus
2006 dengan Wakil
Ketua Prof. Dr. M. Laica Marzuki, SH. Bersama tujuh anggota hakim pendiri
lainnya dari generasi pertama MK, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH dan Prof. Dr.
M. Laica Marzuki berhasil memimpin lembaga baru ini sehingga dengan cepat
berkembang menjadi model bagi pengadilan modern dan terpercaya di Indonesia. Di
akhir masa jabatan Prof. Jimly sebagai Ketua, MK berhasil dipandang sebagai
salah satu ikon keberhasilan reformasi Indonesia. Atas keberhasilan ini, pada
bulan Agustus 2009, Presiden menganugerahkan Bintang Mahaputera Utama kepada
para hakim generasi pertama ini, dan bahkan Bintang Mahaputera Adipradana bagi
mantan Ketua MK, Prof. Jimly Asshiddiqie.
Selama 5 tahun sejak berdirinya,
sistem kelembagaan mahkamah ini terbentuk dengan sangat baik dan bahkan
gedungnya juga berhasil dibangun dengan megah dan oleh banyak sekolah dan
perguruan tinggi dijadikan gedung kebanggaan tempat mengadakan studi tour. Pada
19 Agustus
2008, Hakim
Konstitusi yang baru diangkat untuk periode (2008-2013), melakukan pemilihan
untuk memilih Ketua dan Wakil Ketua MK masa bakti 3 tahun berikutnya, yaitu
2008-2011 dan menghasilkan Mohammad
Mahfud MD sebagai ketua serta Abdul Mukthie Fadjar sebagai wakil ketua.
Sesudah beberapa waktu sesudah itu, pada bulan Oktober 2009, Prof. Jimly
Asshiddiqie, S.H. mengunduran diri dari anggota MK dan kembali menjadi guru besar
tetap hukum tata negara Universitas Indonesia.
Pada periode 2013-2015 terpilih
ketua yaitu Akil Mochtar, namun dia mencoreng nama institusi ini
dengan terlibat kasus suap sengketa pemilu Kabupaten
Lebak dengan terdakwa Tubagus Chairi Wardana, dan melibatkan Gubernur
Banten Ratu Atut Chosiyah, Akil Mochtar menjadi
terdakwa dan diberhentikan pada tanggal 5 Oktober 2013, dan jabatan Ketua
Mahkamah Konstitusi diserahkan kepada Hamdan
Zoelva pada tanggal 1 November 2013, Hamdan saat itu menjabat sebagai wakil ketua MK.
Hakim
Konstitusi
Mahkamah Konstitusi mempunyai 9
Hakim Konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden. Hakim Konstitusi diajukan
masing-masing 3 orang oleh Mahkamah Agung, 3 orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan 3 orang oleh
Presiden. Masa jabatan Hakim Konstitusi adalah 5 tahun, dan dapat dipilih kembali
untuk 1 kali masa jabatan berikutnya.
Periode
2008 - 2013
Hakim Konstitusi periode 2008-2013
adalah:[1]
- Mohammad Mahfud MD (Ketua)
- Harjono (2009-), menggantikan Jimly Asshiddiqie (2008-2009)
- Maria Farida Indrati
- Ahmad Fadlil Sumadi (2009-), menggantikan Maruarar Siahaan (2008-2009)
- Hamdan Zoelva (2009-), menggantikan Abdul Mukthie Fajar (2008-2009)
- Muhammad Alim
- Achmad Sodiki
- Anwar Usman (2011-), menggantikan Muhammad Arsyad Sanusi (2008-2011)
- Muhammad Akil Mochtar
Pada akhir 2009, Maruarar Siahaan
dan Abdul Mukthie Fajar memasuki masa pensiun. Mereka kemudian digantikan oleh
2 hakim baru, yakni Hamdan Zoelva yang menggantikan Abdul Mukthie Fajar
dan Fadlil Sumadi yang
menggantikan Maruarar Siahaan.
Periode
2013 - 2015
Hakim Konstitusi periode 2013-2015
adalah:[2]
- Hamdan Zoelva (Ketua)
- Arief Hidayat (2013-) (Wakil Ketua)
- Harjono (2009-)
- Maria Farida Indrati (2008-2013)
- Muhammad Alim (2008-)
- Ahmad Fadlil Sumadi (2009-)
- Patrialis Akbar (2013-)
- Anwar Usman (2011-)
- Muhammad Akil Mochtar (Mantan Ketua)
Pada tanggal 5 Oktober 2013, Akil Mochtar yang menjabat Ketua MK terlibat
kasus suap MK pada perselisihan Pemilu Kabupaten
Lebak dan dinyatakan sebagai tedakwa sehingga dia diberhentikan dari
jabatan Ketua MK dan diganti oleh Hamdan
Zoelva yang menjabat sebagai Wakil Ketua MK sejak 1 November
2013.
Daftar
Hakim Konstitusi
![!](file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CMuliaNet%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_image004.gif)
Berikut adalah nama-nama yang pernah
menduduki jabatan hakim konstitusi :
Nama
|
Mulai
jabatan
|
Akhir
jabatan
|
2003
|
2009
|
|
2003
|
2008
|
|
2003
|
2008
|
|
2003
|
2008
|
|
2003
|
2009
|
|
2003
|
2008
|
|
2003
|
2008
|
|
2003
|
2009
|
|
2008
|
2013
|
|
2008
|
sekarang
|
|
2008
|
2011
|
|
2008
|
2013
|
|
2008
|
2013
|
|
2008
|
2013
|
|
2009
|
sekarang
|
|
2009
|
sekarang
|
|
2009
|
sekarang
|
|
2011
|
sekarang
|
|
2013
|
sekarang
|
|
2013
|
sekarang
|
Daftar
Ketua Mahkamah Konstitusi
![!](file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CMuliaNet%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_image004.gif)
#
|
Nama
|
Mulai
Jabatan
|
Akhir
Jabatan
|
1
|
19 Agustus 2003
|
19 Agustus 2008
|
|
2
|
19 Agustus 2008
|
3 April 2013
|
|
3
|
3 April 2013
|
5 Oktober 2013
|
|
4
|
1 November 2013
|
2015
|
Daftar
Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi
#
|
Nama
|
Mulai
Jabatan
|
Akhir
Jabatan
|
1
|
19 Agustus 2003
|
19 Agustus 2008
|
|
2
|
19 Agustus 2008
|
13 Agustus 2013
|
|
3
|
13 Agustus 2013
|
1 November 2013
|
|
4
|
1 November 2013
|
2015
|
Susunan
Organisasi
Sekretariat
Jenderal
Sekretariat Jenderal Mahkamah
Konstitusi mempunyai tugas melaksanakan dukungan administrasi umum kepada para
hakim konstitusi. Sekretaris Jenderal dipimpin oleh seorang Sekretaris Jenderal
dan di bawahnya terdapat empat biro dan dua pusat, yaitu :
- Biro Perencanaan dan Pengawasan
- Bagian Perencanaan
- Subbagian Program dan Anggaran
- Subbagian Evaluasi dan Laporan
- Bagian Keuangan
- Subbagian Kas
- Subbagian Akuntansi dan Verifikasi
- Biro Umum
- Bagian Tata Usaha
- Subbagian Persuratan
- Subbagian Arsip dan Dokumentasi
- Bagian Kepegawaian
- Subbagian Tata Usaha
- Subbagian Pembinaan dan Pengembangan Pegawai
- Bagian Perlengkapan
- Subbagian Pengadaan, Penyimpanan dan Inventarisasi
- Subbagian Rumah Tangga
- Biro Hubungan Masyarakat dan Protokol
- Bagian Hubungan Masyarakat
- Subbagian Hubungan Antar Lembaga dan Masyarakat
- Subbagian Media Massa
- Bagian Protokol dan Tata Usaha Pimpinan
- Subbagian Protokol
- Subbagian Tata Usaha Pimpinan
- Biro Keuangan dan Kepegawaian
- Bagian Administrasi Perkara
- Subbagian Registrasi
- Subbagian Penyusunan Kaidah Hukum dan Dokumentasi Perkara
- Bagian Persidangan
- Subbagian Pelayanan Persidangan
- Subbagian Pemanggilan
- Bagian Pelayanan Risalah dan Putusan Perkara
- Subbagian Pelayanan Risalah dan Pelayanan Putusan
- Pusat Penelitian dan Pengkajian (Noor Sidharta)
- Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi
- Bidang Program dan Penyelenggaraan
- Subbidang Program dan Evaluasi
- Subbidang Penyelenggaraan
- Bagian Umum
- Subbagian Sarana dan Prasarana
- Subbagian Tata Usaha
- Kelompok Jabatan Fungsional
Kepaniteraan
Kepaniteraan MK memiliki tugas pokok
memberikan dukungan di bidang administrasi justisial. Susunan organisasi
kepaniteraan MK terdiri dari sejumlah jabatan fungsional Panitera. Kepaniteraan
merupakan supporting unit hakim konstitusi dalam penanganan perkara di MK.
Persidangan
Sidang
Panel
Sidang Panel merupakan sidang yang
terdiri dari tiga orang hakim konstitusi yang diberi tugas untuk melakukan
sidang pemeriksaan pendahuluan. Persidangan ini diselenggarakan untuk memeriksa
kedudukan hukum pemohon dan isi permohonan. Hakim konstitusi dapat memberi
nasihat perbaikan permohonan.
Rapat
Permusyawaratan Hakim
Rapat Permusyawaratan Hakim
(disingkat RPH) bersipat tertutup dan rahasia. Rapat ini hanya dapat diikuti
oleh Hakim konstitusi dan Panitera. Dalam rapat inilah perkara dibahas secara
mendalam dan rinci serta putusan MK diambil yang harus dihadiri
sekurang-kurangnya tujuh hakim konstitusi. Pada saat RPH, Panitera mencatat dan
merekam setiap pokok bahasan dan kesimpulan.
Sidang
Pleno
Sidang Pleno adalah sidang yang
dilakukan oleh majelis hakim konstitusi minimal dihadiri oleh tujuh hakim
konstitusi. Persidangan ini dilakukan terbuka untuk umum dengan agenda
pemeriksaan persidangan atau pembacaan putusan. Pemeriksaan persidangan
meliputi mendengarkan pemohon, keterangan saksi, ahli dan pihak terkait serta
memeriksa alat-alat bukti.
Anggaran
Sebagai lembaga negara pelaku
kekuasaan kehakiman, pelaksanaan tugas-tugas MK berikut aktivitas dukungan yang
diberikan oleh Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK dibiayai oleh Anggaaran
Pendapatan Belanja Negara (APBN). Dalam setiap tahunnya, MK mendapat anggaran
berdasarkan Dokumen Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) atau Rencana Kerja dan
Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-KL). BPK memberikan Opini Wajar Tanpa
Pengecualian (WTP) atas laporan keuangan MK tahun anggaran 2006. Kemudian pada
laporan keuangan tahun 2007,
2008 dan 2009 MK kembali meraih
predikat WTP berturut-turut dari BPK.
Komentar