Artikel Hukum
UPAYA HUKUM BIASA
A. Banding
Pemeriksaan banding merupakan upaya yang dapat diminta oleh pihak yang
berkepentingan, supaya putusan peradilan tingkat pertama diperiksa lagi
dalam peradilan tingkat banding. Jadi secara yuridis formal, hukum
memberi upaya kepada pihak yang berkepentingan untuk mengajukan
permintaan pemeriksaan putusan peradilan tingkat pertama di peradilan
tingkat banding.
Upaya banding yang secara formal dibenarkan hukum merupakan upaya hukum
biasa, bukan upaya hukum luar biasa. Prosedur dan proses pemeriksaan
tingkat banding adalah pemeriksaan yang secara umum dan konvensional
dapat diajukan terhadap setiap putusan peradilan tingkat pertama tanpa
kecuali, sepanjang hal itu diajukan terhadap putusan yang dapat
dibanding seperti yang ditentukan Pasal 67 jo. Pasal 233 ayat (1) KUHAP.
Pasal 67 jo. Pasal 233 ayat (1) KUHAP, merupakan penjabaran Pasal 19 UU
No. 14 Tahun 1970 yang menegaskan terhadap semua putusan pengadilan
tingkat pertama yang tidak merupakan pembebasan dari tuduhan, dapat
dimintakan banding oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Kemudian
diperluas dengan Pasal 67 KUHAP bahwa putusan yang tak dapat diminta
banding bukan hanya putusan bebas (vrijspraak) tapi juga putusan
pelepasan dari segala tuntutan hukum (onslag van rechts vervolging).
Namun pada kedua hukum itu jelas tampak, upaya hukum banding merupakan
upaya hukum biasa yang dapat dilakukan oleh para pihak yang
berkepentingan terhadap semua putusan Pengadilan Negeri sebagai instansi
peradilan yang memutus pada tingkat pertama. Disinilah letak pengertian
upaya hukum biasa, yakni "terhadap semua putusan pengadilan tingkat
pertama dapat dimintakan banding", sehingga permintaan dan pemeriksaan
tingkat banding merupakan hal yang umum dan biasa. Dapat diajukan dan
dilakukan terhadap semua putusan pengadilan tingkat pertama, kecuali
terhadap "putusan bebas" atau "lepas dari segala tuntutan hukum" serta
"putusan acara cepat".
Pada prinsipnya semua putusan akhir (final judgement) Pengadilan Negeri
dapat diajukan permintaan banding. Akan tetapi ada pengecualian yang
ditegaskan dalam Pasal 67 KUHAP, tidak semua putusan akhir pengadilan
tinggi tingkat pertama dapat diminta banding. Adapun putusan akhir
pengadilan tingkat pertama yang dapat diajukan pemeriksaan pada tingkat
banding:
a. Putusan pemidanaan dalam acara biasa
Terhadap setiap putusan pemidanaan dalam acara biasa sekalipun sifat
putusan pemidanaan itu berupa "percobaan" atau "pidana bersyarat"
seperti yang diatur dalam Pasal 14a KUHP, terdakwa atau penuntut umum
dapat mengajukan permintaan banding.
b. Putusan pemidanaan dalam acara singkat
Hal ini serupa dengan putusan pemidanaan dalam acara biasa, terhadap
setiap putusan pemidanaan dalam acara singkat, sekalipun pidana
bersyarat, dapat dimintakan banding baik oleh terdakwa atau penuntut
umum.
c. Putusan yang menyatakan dakwaan tidak dapat diterima dalam acar biasa
dan singkat.
Seperti yang sudah dijelaskan, dakwaan diajukan terhadap orang yang
bukan pelaku tindak pidana atau jika dakwaan diajukan setelah lampau
waktu dan sebagainya maka dalam hal seperti ini putusan pengadilan
menyatakan dakwaan penuntut umum tidak dapat diterima. Terhadap putusan
seperti ini penuntut umum dapat mengajukan permintaan banding. Cuma
harus diingat, pernyataan yang menyatakan dakwaan tidak dapat diterima
yang dapat diminta banding, jika pernyataan tersebut dituangkan dalam
bentuk putusan akhir. Jika pernyataan pengadilan dituangkan dalam bentuk
penetapan, tidak dapat dimintakan banding.
d. Putusan yang menyatakan dakwaan batal demi hukum
Terhadap setiap putusan yang dakwaan batal demi hukum baik dalam acara
biasa maupun acara singkat, penuntut umum dapat mengajukan permintaan
banding. Misalnya putusan pengadilan menyatakan dakwaan batal demi hukum
karena dakwaan tidak memenuhi ketentuan Pasal 143 ayat 2 hurup b KUHAP,
terhadap putusan ini dapat dimintakan banding
e. Putusan perampasan kemerdekaan dalam acara cepat
Sesuai dengan ketentuan Pasal 205 ayat (3) dan Pasal 214 ayat (8),
terdakwa dapat mengajukan permintaan banding jika terhadapnya dijatuhkan
putusan pidana perampasan kemerdekaan
f. Putusan praperadilan terhadap penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.
Setelah mengutarakan putusan yang dapat dibanding, maka ada putusan yang
tidak dapat dibanding, berpedom pada pasal 67. Memang, baik terhadap
putusan yang dapat dimintakan banding maupun yang tidak, pedoman umumnya
adalah Pasal 67. Akan tetapi khusus dalam pembicaraan mengenai putusan
yang tidak dapat diminta banding, maka akan menengok Pasal 67 lebih
mendalam. Adapun putusan yang tidak dapat diminta banding:
a. Putusan bebas atau Vrijspraak (acquitted)
Dalam Pasal 191 ayat (1), apabila kesalahan terdakwa sesuai dengan
perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan. Terhadap putusan bebas yang demikian tidak dapat diajukan
permintaan banding.
b. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau putusan Onslag vanRechts Vervolging
Tentang bentuk putusan lepas dari segala tuntutan hukum, diatur dalam
Pasal 191 ayat (2), yakni apabila pengadilan berpendapat apa yang
didakwakan terhadap terdakwa memang terbukti, akan tetapi perbuatan yang
didakwakan tidak merupakan tindak pidana
c. Putusan acara cepat
Terhadap putusan acara cepat, baik perkara yang diperiksa dengan acara
tindak pidana ringan maupun acara pelanggaran lalu lintas jalan, tidak
dapat diminta banding, kecuali apabila putusan itu berupa pidana
perampasan kemerdekaan.
Permohonan banding dapat ditolak. Panitera dilarang menerima dan
sekaligus harus menolak permintaan banding yang tidak memenuhi syarat
hukum adalah:
1) Diajukan terhadap putusan yang tidak dapat dibanding
Diajukan terhadap putusan yang tidak dapat diminta banding, merupakan
permintaan yang tidak sah dan tidak memenuhi persyaratan hukum. Putusan
pengadilan tingkat pertama yang tidak diperkenankan hukum untuk
dimintakan banding yakni putusan bebas, putusan lepas dari segala
tuntutan hukum dan putusan acara cepat.
2) Permintaan bandingdiajukan setelah tenggang waktu yang ditentukan berakhir.
Berdasarkan ketentuan Pasal 233 ayat (2), tenggang waktu mengajukan permintaan banding:
a. dalam waktu 7 hari sesudah putusan dijatuhkan
b. dalam waktu 7 hari setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir pada saat vputusan dijatuhkan.
Tata cara penolakan permintaan banding dilakukan panitera sebagai berikut:
1) Panitera membuat akta penolakan permohonan banding. Penolakan harus
dituangkan panitera dalam bentuk surat akta penolakan permohonan
banding, tidak cukup dilakukan dengan lisan
2) Akta penolakan ditandatangani oleh panitera dan pemohon
3) Serta diketahui dan ditandatangani oleh Ketua Pengadilan Negeri
4) Berkas perkara tidak dikirim ke Pengadilan Tinggi
Dengan tata cara penolakan yang demikian ada buktinya dan sekaligus
memberikan kepastian hukum tentang penolakan serta merupakan upaya
pembinaan tata administratif peradilan yang lebih dapat
dipertanggungjawabkan.
Penerimaan permohonan banding dialukan atas alasan permintaan memenuhi
persyaratan hukum. Permohonan banding yang memenuhi syarat dalam
ketentuan Pasal 233 ayat (2) sebagai berikut:
1. Permohonan diajukan atau disampaikan kepada panitera Pengadilan Negeri yang memutus perkara tersebut.
Sekalipun permintaan banding diajuka ke Pengadilan Tinggi, namun
permohonan dilakukan oleh pemohon melalui panitera Pengadilan Negeri
yang memutus perkara, tidak dapat langsung diajukan ke Pengadilan Tinggi
2. Permohonan banding diajukan terhadap putusan yang dapat diminta banding
3. Permintaan diajukan dalam tenggang waktu yang ditentukan.
Yang berhak mengajukan permohonan banding yaitu
a. terdakwa, atau
b. orang yang khusus dikuasakan terdakwa, atau
c. penuntut umum, atau
d. terdakwa dengan penuntut umum sekaligus sama-sama mengajukan banding.
Arti memori banding adalah uraian atau risalah yang memuat tanggapan
keberatan terhadap putusan yang dijatuhkan pengadilan tingkat pertama.
Didalam memori banding itulah pemohon mengemukakan kelemahan dan
ketidaktepatan penerapan atau penafsiran hukum yang ada dalam putusan.
Demikian juga memori banding, mencoba memperlihatkan kekeliruan
penilaian keadaan dan pembuktian yang menjadi dasar putusan yang
dijatuhkan. Bahkan dalam memori banding dapat dikemukakan hal baru atau
fakta baru dan sekaligus meminta agar diadakan lagi pemeriksaan tambahan
untuk memeriksa bukti atau fakta baru yang diajukan.
Sebaliknya pada memori banding yang diajukan pemohon banding, pihak yang
lain dapat mengajukan kontra memori banding. Tujuan kontra memori
banding berupa risalah yang memuat bantahan-bantahan terhadap isi memori
banding, serta menekankan kembali kebenaran dan ketepatan putusan yang
dijatuhkan. Disamping memori dan kontra memori banding, masih dapat lagi
memori dan kontra memori itu disempurnakan dan disusul dengan tambahan
memori atau tambahan kontra memori.
B. KASASI
Pemeriksaan perkara pidana oleh Mahkamah Agung pada peradilan kasasi,
mempergunakan ketentuan yang diatur dalam KUHAP sebagai hukum acara,
seperti yang diatur dalam Bagian Kedua Bab XVII, mulai dari Pasal 244
sampai dengan Pasal 258. Selanjutnya, sebagaimana yang ditentukan dalam
Pasal 258, hukum acara kasasi yang diatur dalam KUHAP, bukan hanya
berlaku sebagai hukum acara kasasi bagi lingkungan peradilan umum saja,
tetapi berlaku juga untuk acara permohonan kasasi terhadap putusan
pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
Dalam Pasal 10 ayat (3) UU No. 14 Tahun 1970 telah menegaskan Mahkamah
Agung merupakan peradilan tingkat terakhir (kasasi) bagi semua
lingkungan peradilan. Atau dengan kata lain, Mahkamah Agung adalah
peradilan kasasi bagi semua lingkungan peradilan. Dalam ketentuan Pasal
244 KUHAP menegaskan terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada
tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain Mahkamah Agung terdakwa
atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada
Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas. Jadi, terhadap semua
putusan pidana pada tingkat terakhir selain dari putusan Mahkamah Agung
sendiri, dapat diajukan permintaan pemeriksaan kasasi baik oleh terdakwa
atau penuntut umum. Tanpa kecuali dan tanpa didasarkan pada persyaratan
dan kondisi tertentu, terhadap semua putusan perkara pidana yang
diambil oleh pengadilan pada tingkat terakhir, dapat diajukan permintaan
pemeriksaan kasasi oleh terdakwa oleh penuntut umum. Ini berarti,
terdakwa dan atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan
kasai kepada Mahkamah Agung terhadap semua putusan pidana yang diambil
oleh pengadilan tingkat terakhir.
Upaya kasasi adalah hak yang diberikan kepada terdakwa maupun kepada
penuntut umum. Tergantung kepada mereka untuk mempergunakan hak
terrsebut. Seandainya mereka dapat menerima putusan yang dijatuhkan,
dapat mengesampingkan hak itu, tetapi apabila keberatan atas putusan
yang diambil, dapat mempergunakan hak untuk mengajukan permintaan kasasi
kepada Mahkamah Agung.
Berbarengan dengan hak mengajukan permintaan kasasi yang diberikan hukum
kepada terdakwa atau penuntut umum, dengan sendirinya hak itu
menimbulkan kewajiban bagi kantor pengadilan untuk menerima permintaan
kasasi, tidak ada alasan untuk menolak. Apakah permohonan itu diterima
atau ditolak, bukan wewenang Pengadilan Negeri untuk menilai, sepenuhnya
menjadi wewenang Mahkamah Agung. Bahkan sekalipun permohonan kasasi
diajukan telah melampaui tenggang waktu 14 hari seperti yang diatur
dalam Pasal 245 (1), Pengadilan Negeri tetap wajib menerima permohonan.
Demikian juga seandainya permohonan kasasi tidak dibarengi dengan memori
kasasi maupun terlambat menyampaikan memori kasasi sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 248, Pengadilan Negeri tetap menerima dan
menyampaikan permohonan dan berkas perkara kasasi sebab yang berwenang
sepenuhnya untuk menilai sah tidaknya permohonan kasasi hanya Mahkamah
Agung.
Salah satu tujuan kasasi, memperbaiki dan meluruskan kesalahan penerapan
hukum, agar hukum benar-benar diterapkan sebagaimana mestinya serta
apakah cara mengadili perkara benar-benar dilakukan menurut ketentuan
hukum. Disampng tindakan koreksi yang dilakukan Mahkamah Agung dalam
peradilan kasasi, adakalanya tindakan koreksi itu sekaligus menciptakan
hukum baru dalam bentuk yurisprudensi. Berdasarkan jabatan dan wewenang
yang ada padanya dalam bentuk judge making law , sering Mahkamah Agung
menciptakan hukum baru yang disebut "hukum kasus" atau case law , guna
mengisi kekosongan hukum, maupun dalam rangka menyejajarkan makna dan
jiwa ketentuan hukum sesuai dengan elastisitas pertumbuhan kebutuhan
lajunya perkembangan nilai dan kesadaran masyarakat. Apabila putusan
kasai baik yang berupa koreksi atas kesalahan penerapan hukum maupun
yang bersifat penciptaan hukuim baru telah mantap dan dijadikan pedoman
bagi pengadilan dalam mengambil keputusan maka putusan Mahkamah Agung
akan menjadi yurisprudensi tetap. Tujuan lain dari pemeriksaan kasasi,
berarti mewujudkan kesadaran keseragaman penerapan hukum atau unified
legal frame work dan unified legal opinion . Dengan adanya putusan
kasasi yang menciptakan yurisprudensi, akan mengarahkan keseragaman
pandangan dan titik tolak penerapan hukm, serta dengan adanya upaya
hukum kasasi, dapat terhindarkan kesewenangan dan penyalahgunaan jabatan
oleh para hakim yang tergoda dalam memanfaatkan kebebasan kedudukan
yang dimilikinya.
Putusan perkara pidana yang dapat diajukan permohonan pemeriksaan kasasi dalam Pasal 244 KUHAP yaitu
semua putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan
kecuali terhadap putusan
Mahkamah Agung sendiri
putusan bebas
Pasal 245 ayat (1) menegaskan permohonan kasasidisampaikan oleh pemohon
kepada panitera pengadilan yang memutus perkaranya dalam tingkat
pertama, dalam waktu 14 hari sesudah putusan pengadilan yang dimintakan
kasasi itu diberitahukan kepada terdakwa.
Tenggang waktu mengajukan permohonan kasasi diatur dalam Pasal 245 ayat (1) KUHAP yang menegaskan:
1) permohonan kasasi disampaikan oleh pemohon kepada panitera Pengadilan Negeri yang telah memutus perkara dalam tingkat pertama
2) permohonan diajukan dalam waktu 14 hari sesudah putusan pengadilan
yang hendak dikasasi diberitahukan kepada terdakwa. Terlambat dari batas
waktu 14 hari, mengakibatkan hak untuk mengajukan permohonan kasasi
menjadi gugur.
Bila permohonan kasasi diajukan terlambat dari tenggang waktu 14 hari, dengan sendirinya menurut hukum:
1) haknya untuk mengajukan kasasi gugur
2) terdakwa dianggap menerima putusan
3) untuk itu panitera membuat akta penerimaan putusan
Dalam hal akta penerimaan putusan petunjuk pelaksanaannya:
i) akta penerimaan putusan ditandatangani oleh panitera
ii) diketahui dan ditandatangani oleh Ketua Pengadilan Negeri
iii) kemudian akta penerimaan putusan dilekatkan pada berkas perkara
Alasan kasasi yang diperkenankan atau yang dapat dibenarkan Pasal 253 ayat (1) terdiri dari:
apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya
apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan hukum
apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya
Ada alasan kasasi yang tidak dibenarkan hukum yaitu:
keberatan kasasi Putusan Pengadilan Tinggi menguatkan putusan Pengadilan Negeri
keberatan atas penilaian pembuktian
alasan kasasi yang bersifat pengulangan fakta
alasan yang tidak menyangkut persoalan hal
berat ringannya hukuman atau besar kecilnya jumlah denda
keberatan kasasi atas pengembalian barang bukti
keberatan kasasi tentang Novum
Dalam Pasal 254 KUHAP, bentuk putusan Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi hanya terdiri dari
menolak permohonan kasasi, atau
mengabulkan permohonan kasasi.
Komentar